Ini cerpen yang aku tulis sendiri waktu masih SMA dulu. Cerpen ini juga sempat aku lombakan di acara sekolah yang sayangnya cuman bisa meraih juara dua. Toh aku seneng kok, anak kelas 1 udah bisa nyabet juara, dan selisih poin sama juara satunya cuman 1 point! Bayangkan! Hehe..
Cerpen ini aslinya berjudul Never End, cuman aku translate-in aja biar lebih gampang dimengerti.
Langsung check this out aja yaa.. ^^
Sahabat
adalah tempat berbagi.
Suka…
maupun duka…
Sahabat
adalah tempat bercerita.
Tentang
kebahagiaan, tentang kesedihan.
Sahabat
adalah penawar racun.
Dari
segala pikiran buruk,
juga cela.
Sahabat
selalu ada, saat kita membutuhkannya.
Tapi
dimanakah kamu? Saat aku membutuhkanmu…
Dimanakah
kamu? Kala aku merasa begitu rindu…
Apakah
kamu selalu hadir? Layaknya aku?
Ahh… andai di sini masih ada kamu…
Kubuka kembali album warna biru
kesayanganku.
Foto demi foto, lembar demi lembar,
Melayangkan kembali bayanganku pada
masa lalu. Masa dimana kita masih bersama. Kala kita masih berdua. Kala kita
masih bisa bercanda dan tertawa.
Kuamati lamat-lamat wajah itu.
Betapa riangnya hatimu. Senyummu yang lebar, telah menceritakan segala hal
padaku. Tentang sesuatu yang kamu alami di hari itu.
Dan di situ, di sudut kecil itu, aku
ada sampingmu. Begitu setianya aku menemani. Karna aku tahu. Cuma akulah
satu-satunya yang dapat mengertimu. Akulah satu-satunya sahabatmu. Aku tau itu.
“Ven, kenapa sich kamu pake
jilbab?” tanyanya suatu ketika. “Gak ngerasa risih ato gerah gitu?”
Aku heran. “Kenapa emangnya Lys?
Kamu nggak suka aku pake jilbab?”
“Nggaakk… nggak gituu, aku cuman
pengen tau aja kok!”
Aku terdiam sebentar.
“Gimana ya Lys… kalo kamu
bener-bener pengen tau gimana rasanya pake jilbab itu, cobain aja lagi!”
Dahi Lysie berkerut. “Maksudnya?”
“Kamu tau kan maksudku?” todongku.
Lysie hanya tersenyum simpul
menghadapi todonganku tadi. Masih dengan beribu-ribu pertanyaan yang datang
menghampiri.
Dan di saat yang berbeda, Lysie
masih saja terus menerus menghujaniku dengan berbagai pertanyaan. Yang bagiku begitu sulit. Sampai aku tak
mampu menjawabnya.
“Ven, sholat itu apa gunanya sich?
Kenapa kita wajib sholat? Kan katanya Tuhan tuh Maha Pengasih dan juga
Penyayang! Kalo gitu, meski kita nggak sholat pun, harusnya Tuhan tetep ngasih
surga buat kita dong!” katanya begitu polos.
Sungguh. Saat itu aku benar-benar
tertegun oleh pertanyaan macam itu yang terlontar dari mulutnya.
Sudah sebegitu jauhkah pandangan
dan pikiranmu mengenai Islam? Apakah kau benar-benar mengerti apa yang tadi
kamu pertanyakan?
Aku lagi-lagi terdiam.
Bukan. Bukan diam tepatnya. Tapi
ini lebih bisa disebut dengan merenung. Ya. Aku sibuk merenung tentang
bagaimana seharusnya aku menjawab pertanyaan sebegitu lugu, seperti pertanyaan
yang dilontarkan Lysie tadi.
Akhirnya aku mencoba untuk
menjawabnya semampuku.
“Lys, kamu tau sebab musababnya ada
baik, dan ada juga buruk?”
Lysie tertawa. “Ya biar adil dong,
Ven! Kalo semua baik kan gak ada copet. Kalo gak ada copet, polisi kerjaannya
ngapain dong?”
Aku mengangguk cepat.
“Kalo gitu, Tuhan Maha Adil ya
Lys!” kataku. “Tuhan itu Maha Adil yang seadil-adilnya. Karena Tuhan selalu
memberi ganjaran kepada setiap ciptaan-Nya. Tentu dalam 2 hal juga. Barang
siapa yang berbuat baik, pasti akan mendapatkan balasan berupa kebaikan.
“Begitu juga sebaliknya. Siapa yang
berbuat dosa, pasti dapat ganjaran berupa keburukan yang benar-benar buruk.”
Lysie masih setia mendengarkan.
“Makanya, Tuhan menciptakan surga,
tapi juga menciptakan neraka. Karna, kalo ustadz sama copet sama-sama masuk
surga, waahh… surga penuh dong!”
Lysie tersenyum. Sepertinya dia
mengerti apa maksudku.
“Tapi… Lysie tetep yakin kalo Tuhan
tuh Maha Pengampun.”
“Harus dong! Kalo Tuhan aja gak
kamu percayai, apalagi aku!”
Lysie makin menunjukkan senyumnya
yang manis.
“Ven, besok jalan-jalan yuk!
Sekalian aku pengen beli kaset SameSame nih!” ajaknya suatu kali.
“Boleh… kapan?” tanyaku semangat.
“Kalo nanti gimana?”
“Duhh… bukannya aku gak mau. Tapi,
nanti aku ada acara…”
Tersirat sedikit rasa kecewa dalam
raut wajahnya yang oval.
“Kalo lusa sich. Aku kayaknya
bisa.” Lanjutku. “Emang kamu ngebet banget ya pengen beli?”
“Iya. Udah dari 2 minggu yang lalu.
Aku ngajak kakakku tapi dia sibuk terus.” Ucapnya sedih. “Emang kamu ada acara
apaan sich Ven, malam ini?”
“Pengajian remaja. Tapi kali ini di
susul buka bersama. Rutin mulai bulan Ramadhan ini lho!”
“Di mana?”
“Di rumahnya Linda. Anak kelas X A.
Tau kan? Kenapa Lys? Mau ikut?” tawarku.
“Emang boleh?”
“Emang siapa yang enggak
ngebolehin?”
“Tapi aku malu…”
“Sama siapa?”
“Aku kan nggak pinter agama!”
Aku tersenyum.
“Emang yang boleh ikut pengajian
cuman yang pinter agama doang to?”
Lysie masih terdiam bisu. Bingung.
Ada 2 hal yang patut diperdebatkan di sini. Dan salah satunya, akan menjadi
pilihannya.
Satu, dia ikut bersamaku dan datang
ke pengajian nanti malam. Tentu dengan upah dia harus mengundurkan niatnya
untuk pergi dan mendapatkan barang keinginannya.
Dan dua, dia pergi sendiri atau minimal
mencoba merayu kakaknya lagi untuk pergi dan mendapatkan apa yang begitu
diinginkannya.
“Tapi kamu beneran berangkat kan
Ven?” tanyanya sanksi. Dia masih begitu ragu rupanya.
“Iyaa… kamu kok gak percayaan gitu
sich?”
Dia terdiam lagi. Dan akhirnya aku
patut bernafas lega. Bahkan dengan sangat lega. Karna dia memilih pilihannya
yang nomor satu. It’s good, isn’t it?
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam…” jawabku cepat.
Ketika sadar siapa yang barusan
mengucap salam, aku serasa ingin menjerit.
“Subhanallah! Lys… ini beneran
kamu?!” ujarku spontan. “Cantik bangeett…”
Aku masih terkejut-kejut dan hampir
belum sadarkan diri kalau orang berjilbab pink di depan mataku adalah dia.
Lysie.
“Jangan ngomong gitu ah Ven! Aku
kan jadi malu…” seketika ia menutup sebagian wajahnya dengan sapu tangan yang
dibawanya.
“Udah lah! Gak pa-pa lagi! Yuk
masuk!” aku menarik lengannya memasuki rumah Linda yang telah dengan sekejab
disulap menjadi tempat pengajian yang amat indah.
Pengajian pun dimulai. Lysie yang
dulunya enggan, Lysie yang mulanya bermalu-malu ria, hari ini, jam ini, menit
dan detik ini juga telah ada di sampingku. (perlu dimasukkan ke guinessbook of
record gak ya?) Menepati janjinya tadi siang. Mengikuti pengajian!
Kupikir dia lupa. Atau bahkan dia
membatalkan niatnya untuk berangkat kemari. Sedari tadi aku menunggunya. Aku
sudah menunggunya sekitar 15 menit yang lalu. Tapi kepenatanku selama menunggu
hilang dalam sekejab mata sejak melihat dia datang dengan jilbab yang berkibar
di tubuhnya. Anggun.
Dan lagi-lagi pikiranku melayang.
Andai dandananmu yang serba istimewa ini bukan untuk hari ini saja ya, Lys?
Lysie yang tidak menyadari sedang
kutatap mendengarkan ceramah dengan sangat khusyu’.
“Sebagai umat Islam, kita wajib
bersyukur pada Allah SWT. Karena dengan kuasa-Nya lah kita sekarang ada di
sini. Dan alhamdulillah, dengan segala rahmat dari-Nya, kita adalah golongan
orang-orang yang beruntung.” Buka Bu Hasybi.
“Pengajiannya kemaren asik banget
ya Ven? Jadi pengen lagi.” Tukas Lysie girang.
Aku hanya tersenyum.
“Kalo gitu kapan-kapan ikut lagi
aja!”
Lysie mengangguk setuju.
“Tapi aku sempet ngerasa
tersinggung juga. Pas Bu… siapa?”
“Hasybi.”
“Iya. Bu Hasybi bilang kalo jilbab
itu ternyata wajib buat perempuan. Kan aku nggak pake, Ven.”
“Bukannya gak pake, tapi belum.
Nanti, kalo udah waktunya, kamu mau kan pake jilbab?” tanyaku. “Buatku.”
“Soalnya aku pengeen… banget liat
kamu pake jilbab lagi. Dandananmu yang kemaren cocok en pantes sich!”
“Iya dech! Nanti, aku ngomong sama
Mama Papaku dulu. Kalo mereka ngijinin, aku bakalan pake.”
“Oke. I’ll wait for that.”
“Ven, besok aku mau pakai jilbab
lhoh!” adumu berseri-seri.
Saat itu, mungkin sinar matahari
pagi kalah bercahaya ketimbang raut wajahmu yang begitu bahagia.
“Beneran? Kamu nggak bohong kan Lys?”
sambutku ceria.
“Ya, nggak lah! Papa n’ Mam udah
setuju kalo aku pengen berjilbab. Mereka udah janji bikinin seragam panjang
buatku. Dan kayaknya sich, besok udah jadi. So, kayaknya besok udah bisa
dipake.”
“Alhamdulillah…” pekikku senang.
“Kamu pasti bakalan tambah cantik
banget sama seragam barumu, Lys…”
“Aku bener-bener nggak sabar nunggu
besok, Ven.”
“Aku juga.”
“Kalo ada something wrong sama my
new perfomance jangan dihina ya!”
“Nggak… nggak akan. Paling cuman
dikritik.”
Lysie tertawa. Tawa yang begitu
indah. Dan ketentraman yang menyelubungi kami berdua, bagaikan tanpa batas.
Entah mengapa. Malam ini, semua
peristiwa, segala kejadian, yang telah kita lalui bersama, tiba-tiba terngiang
kembali. Ketika rongga dalam hatiku menghela sedikit udara, rasa pedihnya
hingga kini belum sempat terobati.
Soulmate. Kiranya tak ada yang
lebih bisa menggambarkan hubungan kita berdua sebagai orang yang benar-benar
saling memahami.
Senyum yang begitu tulus tersirat dari dalam hati…
Keceriaanmu yang selalu mengobati…
Juga tentang janji yang belum sempat tertepati…
Keinginanku jua yang tak kan dapat terpenuhi…
Menggores kembali pada luka lama.
Tak tau juga mengapa takdir Allah
datang dengan begitu tiba-tiba. Hanya dalam satu kedipan mata. Yang membuatku
bagai duri yang terhempas ke padang ilalang tanpa batas. Yang membuat jiwaku
senantiasa terpukul karna rasa sakitnya. And
for my soulmate who won’t be besides me again.
Malam yang kelabu, pukul 22.00
Aku terpaksa membuka kembali mataku
yang benar-benar telah terpejam. Rasa kantukku belum juga hilang. Hingga suara
itu. Suara di telpon itu, terdengar begitu sendu.
Mamamu, mengatakan padaku. Kalau
kamu takkan ada lagi di sisiku. Kamu, takkan datang dengan senyuman di wajahmu.
Kamu, takkan datang dengan jilbab yang begitu kuidam-idamkan itu. Karna
kecelakaan itu, membawamu pergi, jauh… ke tempat Rabb-mu.
Sekali lagi. Aku diam. Aku diam
karena memang sekarang aku tidak begitu mengerti apa yang seharusnya aku
lakukan. Aku tidak mengerti perasaan apa ini. Sehingga membuatku begitu perih.
Begitu resah. Bagaikan terhantam batu jutaan ton. Bagaikan tertimbun tanah
jutaan meter. Dan bagai tersayat-sayat cakar yang begitu tajam.
Aku terus mencoba mencerna apa yang
dikatakan Mamamu dari seberang sana. Apakah mungkin aku salah dengar? Tapi kian
lama kian tak berubah. Malah Mamamu mulai terisak sedih. Dia berusaha
memperkuat apa yang terjadi.
Suaranya tertekan habis-habisan
untuk menyembunyikan kegalauan hatinya. Bahkan aku bisa merasakan beberapa
butiran air mata jatuh dari sudut matanya.
Lirih. Akhirnya aku dapat menguasi
perasaan. Sembari menitikkan sedikit penyesalan yang begitu dalam. Karena aku
belum sempat mengucapkan kata perpisahan. Lamat-lamat…
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un…”
Akhir kisah. Telah setahun lamanya
kamu tak ada di sini. Menemaniku dan berbagi senyum langgananmu. Tapi kisah ini
takkan pernah habis dimakan usia. Bahkan cerita ini kian terukir dalam hati.
Bahwa kamu, pernah ada di sini.
Ya, Allah. Ampunilah dia atas
segala dosa yang pernah dilakukannya. Ampunilah segala kesalahan yang telah dia
perbuat dan mungkin menyakiti orang-orang di sekitarnya. Mungkin jika dulu
waktu untuknya belum tiba, aku yakin. Dia akan tampil mempesona dengan jilbab
melekat di kepalanya.
Ya, Allah Yang Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. Berikanlah dia tempat yang layak di sisi-Mu. Berilah dia
kenikmatan surga-Mu. Dan hanya atas ijin-Mu. Suatu saat nanti, pasti kita kan
bertemu. Dan semoga saja pertemuan itu adalah pertemuan terakhir, pertemuan
yang membahagiakan dan pertemuan yang untuk selama-lamanya.
Bisikku selalu di akhir do’aku.
Source : Dokumen Pribadi