5.28.2012

CERPEN : Takkan Berakhir

Ini cerpen yang aku tulis sendiri waktu masih SMA dulu. Cerpen ini juga sempat aku lombakan di acara sekolah yang sayangnya cuman bisa meraih juara dua. Toh aku seneng kok, anak kelas 1 udah bisa nyabet juara, dan selisih poin sama juara satunya cuman 1 point! Bayangkan! Hehe..
Cerpen ini aslinya berjudul Never End, cuman aku translate-in aja biar lebih gampang dimengerti.

Langsung check this out aja yaa.. ^^

Sahabat adalah tempat berbagi.
Suka… maupun duka…
Sahabat adalah tempat bercerita.
Tentang kebahagiaan, tentang kesedihan.
Sahabat adalah penawar racun.
Dari segala pikiran buruk, juga cela.
Sahabat selalu ada, saat kita membutuhkannya.
 Tapi dimanakah kamu? Saat aku membutuhkanmu…
Dimanakah kamu? Kala aku merasa begitu rindu…
Apakah kamu selalu hadir? Layaknya aku?
Ahh… andai di sini masih ada kamu…

Kubuka kembali album warna biru kesayanganku.
Foto demi foto, lembar demi lembar,
Melayangkan kembali bayanganku pada masa lalu. Masa dimana kita masih bersama. Kala kita masih berdua. Kala kita masih bisa bercanda dan tertawa.
Kuamati lamat-lamat wajah itu. Betapa riangnya hatimu. Senyummu yang lebar, telah menceritakan segala hal padaku. Tentang sesuatu yang kamu alami di hari itu.
Dan di situ, di sudut kecil itu, aku ada sampingmu. Begitu setianya aku menemani. Karna aku tahu. Cuma akulah satu-satunya yang dapat mengertimu. Akulah satu-satunya sahabatmu. Aku tau itu.


“Ven, kenapa sich kamu pake jilbab?” tanyanya suatu ketika. “Gak ngerasa risih ato gerah gitu?”
Aku heran. “Kenapa emangnya Lys? Kamu nggak suka aku pake jilbab?”
“Nggaakk… nggak gituu, aku cuman pengen tau aja kok!”
Aku terdiam sebentar.
“Gimana ya Lys… kalo kamu bener-bener pengen tau gimana rasanya pake jilbab itu, cobain aja lagi!”
Dahi Lysie berkerut. “Maksudnya?”
“Kamu tau kan maksudku?” todongku.
Lysie hanya tersenyum simpul menghadapi todonganku tadi. Masih dengan beribu-ribu pertanyaan yang datang menghampiri.

Dan di saat yang berbeda, Lysie masih saja terus menerus menghujaniku dengan berbagai pertanyaan.  Yang bagiku begitu sulit. Sampai aku tak mampu menjawabnya.
“Ven, sholat itu apa gunanya sich? Kenapa kita wajib sholat? Kan katanya Tuhan tuh Maha Pengasih dan juga Penyayang! Kalo gitu, meski kita nggak sholat pun, harusnya Tuhan tetep ngasih surga buat kita dong!” katanya begitu polos.
Sungguh. Saat itu aku benar-benar tertegun oleh pertanyaan macam itu yang terlontar dari mulutnya.
Sudah sebegitu jauhkah pandangan dan pikiranmu mengenai Islam? Apakah kau benar-benar mengerti apa yang tadi kamu pertanyakan?
Aku lagi-lagi terdiam.
Bukan. Bukan diam tepatnya. Tapi ini lebih bisa disebut dengan merenung. Ya. Aku sibuk merenung tentang bagaimana seharusnya aku menjawab pertanyaan sebegitu lugu, seperti pertanyaan yang dilontarkan Lysie tadi.
Akhirnya aku mencoba untuk menjawabnya semampuku.
“Lys, kamu tau sebab musababnya ada baik, dan ada juga buruk?”
Lysie tertawa. “Ya biar adil dong, Ven! Kalo semua baik kan gak ada copet. Kalo gak ada copet, polisi kerjaannya ngapain dong?”
Aku mengangguk cepat.
“Kalo gitu, Tuhan Maha Adil ya Lys!” kataku. “Tuhan itu Maha Adil yang seadil-adilnya. Karena Tuhan selalu memberi ganjaran kepada setiap ciptaan-Nya. Tentu dalam 2 hal juga. Barang siapa yang berbuat baik, pasti akan mendapatkan balasan berupa kebaikan.
“Begitu juga sebaliknya. Siapa yang berbuat dosa, pasti dapat ganjaran berupa keburukan yang benar-benar buruk.”
Lysie masih setia mendengarkan.
“Makanya, Tuhan menciptakan surga, tapi juga menciptakan neraka. Karna, kalo ustadz sama copet sama-sama masuk surga, waahh… surga penuh dong!”
Lysie tersenyum. Sepertinya dia mengerti apa maksudku.
“Tapi… Lysie tetep yakin kalo Tuhan tuh Maha Pengampun.”
“Harus dong! Kalo Tuhan aja gak kamu percayai, apalagi aku!”
Lysie makin menunjukkan senyumnya yang manis.



“Ven, besok jalan-jalan yuk! Sekalian aku pengen beli kaset SameSame nih!” ajaknya suatu kali.
“Boleh… kapan?” tanyaku semangat.
“Kalo nanti gimana?”
“Duhh… bukannya aku gak mau. Tapi, nanti aku ada acara…”
Tersirat sedikit rasa kecewa dalam raut wajahnya yang oval.
“Kalo lusa sich. Aku kayaknya bisa.” Lanjutku. “Emang kamu ngebet banget ya pengen beli?”
“Iya. Udah dari 2 minggu yang lalu. Aku ngajak kakakku tapi dia sibuk terus.” Ucapnya sedih. “Emang kamu ada acara apaan sich Ven, malam ini?”
“Pengajian remaja. Tapi kali ini di susul buka bersama. Rutin mulai bulan Ramadhan ini lho!”
“Di mana?”
“Di rumahnya Linda. Anak kelas X A. Tau kan? Kenapa Lys? Mau ikut?” tawarku.
“Emang boleh?”
“Emang siapa yang enggak ngebolehin?”
“Tapi aku malu…”
“Sama siapa?”
“Aku kan nggak pinter agama!”
Aku tersenyum.
“Emang yang boleh ikut pengajian cuman yang pinter agama doang to?”
Lysie masih terdiam bisu. Bingung. Ada 2 hal yang patut diperdebatkan di sini. Dan salah satunya, akan menjadi pilihannya.
Satu, dia ikut bersamaku dan datang ke pengajian nanti malam. Tentu dengan upah dia harus mengundurkan niatnya untuk pergi dan mendapatkan barang keinginannya.
Dan dua, dia pergi sendiri atau minimal mencoba merayu kakaknya lagi untuk pergi dan mendapatkan apa yang begitu diinginkannya.
“Tapi kamu beneran berangkat kan Ven?” tanyanya sanksi. Dia masih begitu ragu rupanya.
“Iyaa… kamu kok gak percayaan gitu sich?”
Dia terdiam lagi. Dan akhirnya aku patut bernafas lega. Bahkan dengan sangat lega. Karna dia memilih pilihannya yang nomor satu. It’s good, isn’t it?

“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam…” jawabku cepat.
Ketika sadar siapa yang barusan mengucap salam, aku serasa ingin menjerit.
“Subhanallah! Lys… ini beneran kamu?!” ujarku spontan. “Cantik bangeett…”
Aku masih terkejut-kejut dan hampir belum sadarkan diri kalau orang berjilbab pink di depan mataku adalah dia. Lysie.
“Jangan ngomong gitu ah Ven! Aku kan jadi malu…” seketika ia menutup sebagian wajahnya dengan sapu tangan yang dibawanya.
“Udah lah! Gak pa-pa lagi! Yuk masuk!” aku menarik lengannya memasuki rumah Linda yang telah dengan sekejab disulap menjadi tempat pengajian yang amat indah.
Pengajian pun dimulai. Lysie yang dulunya enggan, Lysie yang mulanya bermalu-malu ria, hari ini, jam ini, menit dan detik ini juga telah ada di sampingku. (perlu dimasukkan ke guinessbook of record gak ya?) Menepati janjinya tadi siang. Mengikuti pengajian!
Kupikir dia lupa. Atau bahkan dia membatalkan niatnya untuk berangkat kemari. Sedari tadi aku menunggunya. Aku sudah menunggunya sekitar 15 menit yang lalu. Tapi kepenatanku selama menunggu hilang dalam sekejab mata sejak melihat dia datang dengan jilbab yang berkibar di tubuhnya. Anggun.
Dan lagi-lagi pikiranku melayang. Andai dandananmu yang serba istimewa ini bukan untuk hari ini saja ya, Lys?
Lysie yang tidak menyadari sedang kutatap mendengarkan ceramah dengan sangat khusyu’.
“Sebagai umat Islam, kita wajib bersyukur pada Allah SWT. Karena dengan kuasa-Nya lah kita sekarang ada di sini. Dan alhamdulillah, dengan segala rahmat dari-Nya, kita adalah golongan orang-orang yang beruntung.” Buka Bu Hasybi.

“Pengajiannya kemaren asik banget ya Ven? Jadi pengen lagi.” Tukas Lysie girang.
Aku hanya tersenyum.
“Kalo gitu kapan-kapan ikut lagi aja!”
Lysie mengangguk setuju.
“Tapi aku sempet ngerasa tersinggung juga. Pas Bu… siapa?”
“Hasybi.”
“Iya. Bu Hasybi bilang kalo jilbab itu ternyata wajib buat perempuan. Kan aku nggak pake, Ven.”
“Bukannya gak pake, tapi belum. Nanti, kalo udah waktunya, kamu mau kan pake jilbab?” tanyaku. “Buatku.”
“Soalnya aku pengeen… banget liat kamu pake jilbab lagi. Dandananmu yang kemaren cocok en pantes sich!”
“Iya dech! Nanti, aku ngomong sama Mama Papaku dulu. Kalo mereka ngijinin, aku bakalan pake.”
“Oke. I’ll wait for that.”

“Ven, besok aku mau pakai jilbab lhoh!” adumu berseri-seri.
Saat itu, mungkin sinar matahari pagi kalah bercahaya ketimbang raut wajahmu yang begitu bahagia.
“Beneran? Kamu nggak bohong kan Lys?” sambutku ceria.
“Ya, nggak lah! Papa n’ Mam udah setuju kalo aku pengen berjilbab. Mereka udah janji bikinin seragam panjang buatku. Dan kayaknya sich, besok udah jadi. So, kayaknya besok udah bisa dipake.”
“Alhamdulillah…” pekikku senang.
“Kamu pasti bakalan tambah cantik banget sama seragam barumu, Lys…”
“Aku bener-bener nggak sabar nunggu besok, Ven.”
“Aku juga.”
“Kalo ada something wrong sama my new perfomance jangan dihina ya!”
“Nggak… nggak akan. Paling cuman dikritik.”
Lysie tertawa. Tawa yang begitu indah. Dan ketentraman yang menyelubungi kami berdua, bagaikan tanpa batas.

Entah mengapa. Malam ini, semua peristiwa, segala kejadian, yang telah kita lalui bersama, tiba-tiba terngiang kembali. Ketika rongga dalam hatiku menghela sedikit udara, rasa pedihnya hingga kini belum sempat terobati.
Soulmate. Kiranya tak ada yang lebih bisa menggambarkan hubungan kita berdua sebagai orang yang benar-benar saling memahami.

Senyum yang begitu tulus tersirat dari dalam hati…
Keceriaanmu yang selalu mengobati…
Juga tentang janji yang belum sempat tertepati…
Keinginanku jua yang tak kan dapat terpenuhi…
Menggores kembali pada luka lama.

Tak tau juga mengapa takdir Allah datang dengan begitu tiba-tiba. Hanya dalam satu kedipan mata. Yang membuatku bagai duri yang terhempas ke padang ilalang tanpa batas. Yang membuat jiwaku senantiasa terpukul karna rasa sakitnya. And for my soulmate who won’t be besides me again.

Malam yang kelabu, pukul 22.00
Aku terpaksa membuka kembali mataku yang benar-benar telah terpejam. Rasa kantukku belum juga hilang. Hingga suara itu. Suara di telpon itu, terdengar begitu sendu.
Mamamu, mengatakan padaku. Kalau kamu takkan ada lagi di sisiku. Kamu, takkan datang dengan senyuman di wajahmu. Kamu, takkan datang dengan jilbab yang begitu kuidam-idamkan itu. Karna kecelakaan itu, membawamu pergi, jauh… ke tempat Rabb-mu.
Sekali lagi. Aku diam. Aku diam karena memang sekarang aku tidak begitu mengerti apa yang seharusnya aku lakukan. Aku tidak mengerti perasaan apa ini. Sehingga membuatku begitu perih. Begitu resah. Bagaikan terhantam batu jutaan ton. Bagaikan tertimbun tanah jutaan meter. Dan bagai tersayat-sayat cakar yang begitu tajam.
Aku terus mencoba mencerna apa yang dikatakan Mamamu dari seberang sana. Apakah mungkin aku salah dengar? Tapi kian lama kian tak berubah. Malah Mamamu mulai terisak sedih. Dia berusaha memperkuat apa yang terjadi.
Suaranya tertekan habis-habisan untuk menyembunyikan kegalauan hatinya. Bahkan aku bisa merasakan beberapa butiran air mata jatuh dari sudut matanya.
Lirih. Akhirnya aku dapat menguasi perasaan. Sembari menitikkan sedikit penyesalan yang begitu dalam. Karena aku belum sempat mengucapkan kata perpisahan. Lamat-lamat…
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un…”

Akhir kisah. Telah setahun lamanya kamu tak ada di sini. Menemaniku dan berbagi senyum langgananmu. Tapi kisah ini takkan pernah habis dimakan usia. Bahkan cerita ini kian terukir dalam hati. Bahwa kamu, pernah ada di sini.
Ya, Allah. Ampunilah dia atas segala dosa yang pernah dilakukannya. Ampunilah segala kesalahan yang telah dia perbuat dan mungkin menyakiti orang-orang di sekitarnya. Mungkin jika dulu waktu untuknya belum tiba, aku yakin. Dia akan tampil mempesona dengan jilbab melekat di kepalanya.
Ya, Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Berikanlah dia tempat yang layak di sisi-Mu. Berilah dia kenikmatan surga-Mu. Dan hanya atas ijin-Mu. Suatu saat nanti, pasti kita kan bertemu. Dan semoga saja pertemuan itu adalah pertemuan terakhir, pertemuan yang membahagiakan dan pertemuan yang untuk selama-lamanya.
Bisikku selalu di akhir do’aku.


Source : Dokumen Pribadi